Gagal Jadi Dokter, Kini Hardianti Rintis Impian Menuju Doktor

Menjadi dokter selalu menjadi angan-angan seorang Hardianti kecil. Hingga Ia memutuskan meninggalkan kota kelahirannya, Luwuk, Sulawesi Tengah, untuk hijrah ke Makassar melanjutkan pendidikan selepas SMA.

Cita-cita itu masih selalu terpatri, sebelum akhirnya harus dilupakan menyusul kegagalan melewati passing grade program studi pilihannya.

Namun, siapa sangka kegagalan itu membawanya sampai ke titik di mana Ia sadar akan kemungkinan-kemungkinan lain yang ditawarkan hidup ini kepadanya. Kegagalan menjadi dokter membuatnya berusaha menyusun kembali mimpinya lewat Pendidikan Bahasa Inggris. Ia memilih Bahasa Inggris juga karena memang menyukai pelajaran itu sejak SD.

Namun, seiring waktu, penggemar Harry Potter itu sadar bahwa kedudukan bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional akan membuat orang yang menguasai bahasa itu mudah mengakses informasi yang mungkin saja terbatas bila hanya mencari sumber dari dalam negeri saja, dan juga memudahkan mereka berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai belahan dunia. Dan tentu saja, mempelajari bahasa Inggris bukan merupakan alasan seseorang melupakan bahasa Ibunya.

Sepuluh tahun berlalu, Hardianti kini tengah berusaha menuntaskan impian barunya itu setelah gagal pada pilihan pertamanya pada 2011 silam.

Saat ini, Anti, sapaan akrabnya, berada di penghujung tahun kedua studi doktoralnya. Sesuai kurikulum di kampus tempatnya menimba ilmu, Ia sudah wajib mengikuti serangkaian ujian sebelum mulai melaksanakan kegiatan penelitian, dengan konsep dasar riset yang harus dipresentasikan di hadapan para penguji.

Berangkat dari pengalaman pribadi, hasil bacaan, dan pengamatannya pada lingkungan tempatnya mengabdi, Hardianti tertarik mengangkat topik Plurilingualism dalam ujian gagasan awal disertasi Program Studi S3 Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Pascasarjana (PPs) Universitas Negeri Makassar (UNM) pada Selasa, 6 April 2021 lalu.

Dalam ujian yang diselenggarakan secara virtual, alumni Universitas Muhammadiyah Parepare itu mencoba menawarkan konsep Plurilingualism, yang sebelumnya telah banyak digunakan di Negara- negara di benua Eropa, benua Amerika (seperti Canada), dan beberapa Negara di benua Asia tentang bagaimana pembelajaran dengan mengintegrasikan bahasa-bahasa yang dipahami dan dikuasai oleh peserta didik dengan bahasa Inggris, baik itu dalam rangka pendalaman pengetahuan maupun pengembangan kemampuan berbahasa.

Sebagai Negara dengan latar belakang budaya dan bahasa yang beragam, Hardianti, yang juga tercatat sebagai salah satu dosen di Universitas Muhammadiyah Luwuk Banggai itu menyadari betapa konsep Plurilingualism dapat bermanfaat bagi peserta didik dan juga para pendidik baik itu dosen maupun guru untuk lebih memahami identitas budaya dan bahasa yang mereka miliki.

Dengan lebih memahami identitas itu, hubungan interaksi baik antar sesama pendidik, sesama peserta didik, maupun antara pendidik dan peserta didik diharapkan dapat terjalin lebih harmonis disebabkan adanya rasa saling memahami dan menghargai perbedaan itu.

Yang tidak kalah pentingnya, dalam konsep dasar penelitiannya ini, Ia ingin mencoba menyampaikan bagaimana belajar bahasa terutama bahasa Inggris itu bukan hanya sebagai tujuan melainkan sebagai “jembatan”, dan sama sekali tidak menjadikan seseorang yang belajar bahasa Inggris itu “lupa” akan bahasa Ibunya (mother tongue) terlebih lagi bahasa nasionalnya.

Konsep plurilingualism yang mengandung pengertian kemampuan setiap individu menggunakan lebih dari dua bahasa tertentu secara komunikatif dan tidak terikat pada wilayah tertentu dipercaya telah dimiliki oleh rata-rata pelajar di negeri ini.

Yang menjadi masalah adalah banyak di antara mereka yang masih belum menyadari identitas plurilingualisme dalam diri mereka masing-masing dan terjebak dalam pemikiran bahwa mempelajari bahasa asing itu sulit.

Penelitian yang direncanakan akan berlangsung selama kurang lebih satu semester itu akan difokuskan pada penerapan Plurilingualism di perguruan tinggi.

“Karena ini masih termasuk langkah awal, saya merasa masih perlu membenahi beberapa hal sebelum melangkah ke tahap selanjutnya. Oleh karena itu saya sangat berterima kasih atas kritik dan saran dari para penguji untuk memperkaya kerangka konsep dari judul penelitian yang saya tawarkan. Ke depannya saya berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis terkait teori plurilingualism dan penerapannya di Indonesia.”, ungkap perempuan berdarah Saluan dan Mandar itu.

Ujian gagasan awal secara virtual tersebut dihadiri oleh Tim Penguji, yang dipimpin Prof. Drs. Muhammad Basri, M.A., Ph.D, beranggotakan Dr. Sahril, M.Hum, Amirullah, M.Ed., Ph.D., dan Prof. Dr. Baso Jabu, M.Hum. Setelah menyampaikan konsep gagasan awal dan menjawab pertanyaan dari para penguji, Hardianti dinyatakan lulus dalam ujian gagasan awal ini. Dengan demikian, statusnya yang semula sebagai mahasiswa doktor telah berubah menjadi kandidat doktor PBI PPs UNM.

Source: https://upeks.co.id/2021/04/gagal-jadi-dokter-kini-rintis-impian-menuju-doktor/